Latar Belakang Berdirinya Huize Trivelli Heritage Resto & Patisserie

Belum lagi berbicara mengenai  rekaman masa lalu tentang cerita Keluarga yang sering di lantunkan oleh  Ayah almarhum maupun Emak almarhumah pada saat luang dari waktu ke waktu  pada saat bersama semasa hidup keduanya. Semua catatan-catatan yang terperiodisasi merupakan  rekaman perjalanan budaya keluarga Huize Trivelli. Aspek budaya yang tidak hanya merupakan nilai-nilai yang dianut bersama oleh tiap anggota keluarga akan tetapi berbicara sebagai suatu pedoman yang yang dipegang teguh secara bersama-sama sebagai suatu komunitas.

Dalam hal ini terutama komunitas keluarga Huize Trivelli. Yang dimaksudkan budaya adalah semata Budaya kuliner keluarga. Yang diartikan kepada perjalanan Kuliner yang terekam selama perjalanan waktu hampir selama 70 tahun yang diwujudkan dalam perjalanan keluarga Huize Trivelli yang menjadi prime mover yang mendasari kegiatan usaha Huize Trivelli Heritage Resto & Patissier.

Bersamaan dengan berjalannya waktu di tahun 60’an saat kondisi perekonomian di Indonesia kurang menguntungkan yang berdampak langsung kepada perekonomian dapur secara mikro di Indonesia, Emak yang juga berprofesi sebagai Guru di Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) yang berlokasi di Jl. Dr.Sutomo 1 dikawasan Pasar baru Jakarta Pusat membantu mengepulnya asap dapur keluarga dengan berjualan Makanan dan Kwee 2 tempo doeloe.

Foto Bersama Ny S Soe’oed Murid – murid kelas 3 SGKP Jl. Dokter Soetomo 1 Pasar Baroe – Jakarta Pusat Tahun 1955

Hasil olahan resep2 masa lalu yang diperoleh  Emak baik secara otodidak, dari keluarganya maupun kursus  yang sebagian dari Guru2nya masih berkebangsaan Belanda. Hal ini terlihat dari peninggalan buku2 masakan yang di tulis secara pribadi dalam bahasa Belanda maupun buku cetakan terbitan dari negara Kincir angin. Diantaranya buku Masak karya Nyonya J.M.J Catenius van der Meiden terbitan awal abad ke 20 versi cetak ke 10. Cetakan pertama diterbitkan di Semarang tahun 1915 dan diikuti oleh cetakan berikutnya di Batavia di tahun 1925.

Isi buku panduan memasak ini memuat 1381 resep masakan Indische Rijsttafel yang merupakan gabungan sejumlah menu hidangan pribumi yang saat itu belum dikenal sebagai Hidangan Indonesia tradisional. Selain tentunya terdapat penyisipan untuk menyempurnakan kelengkapannya sejumlah  resep2 masakan Belanda yang sesungguhnya telah diadaptasi kepada kondisi setempat di Indonesia saat itu.

Dengan latar belakang pendidikan Belanda sebagai Guru tamatan Hollandsche Inlandsche Kweekschool  Goenoeng Sari Lembang, Emak sangat fasih dalam menggunakan Bahasa Belanda yang merupakan modal utamanya dalam berkomunikasi dengan Guru2 Masaknya nya maupun dalam penguasaan materi resep2 yang tertulis dalam Bahasa Belanda. Buku2 peninggalannya merupakan saksi sejarah dan bagian pembelajaran yang dilalui dalam melestarikan sebagian menu-menu favorit Keluarga.

Catatan Resep tulisan pribadi Emmy Soeoed Tasik 3 Syawal 1364

Dengan demikian  dalam keseharian budaya kuliner keluarga yang telah ditalarkan oleh Emak almarhumah telah mendarah daging dalam diriku mengingat kontribusi sebagai anggota keluarga dalam membantu kegiatan usaha di Rumah pada saat menjadi Pemasok Kwee dan makanan di Sarinah di tahun 1960-an telah berjalan seiring dengan waktu.

Bahkan berlanjut sampai pernikahan penulis dengan istri RR. Wahyuni Baliningtyas putri sulung Bapak/Ibu Wagiyakto di tahun 1989.

Kecintaan akan budaya masak  demikian kentalnya di keluarga mertua Bapak Wagiyakto dan Ibu R.A Andayaningsih yang berasal dari Pasuruan dan Malang Jawa Timur, membentuk pribadi Wahyuni menjadi seorang yang akrab dengan kegiatan masak memasak.

Bagi keluarga mertua sendiri memasak adalah yang suatu pengabdian tersendiri. Sedangkan bagi Wahyuni memasak merupakan suatu Ritual tersendiri yang didasari oleh cinta dan pengabdian kepada  keluarga .

Proses Ritual yang semula hanyalah merupakan bagian dedikasi seorang Ibu rumah tangga dalam tugas seorang Ibu bagi kedua anaknya maupun suami. Suatu proses pembelajaran dalam mendalami kuliner keluarga yang tumbuh sejak keberadaannya di kediaman Mertua  maupun pada saat bermukim di Negeri Belanda selama dua tahun mengikuti tugas belajar suami, telah menggemblengnya menjadi seorang calon chef de cuisine yang tangguh bagi Huize Trivelli.

Seni memasak (art of cuisine) bukan sekedar mengubah sesuatu bahan mentah (raw food materials) menjadi makanan dengan menggunakan api. Namun lebih dari itu, Francoise Sabban dalam Montanari (2006) mengatakan bahwa seni memasak (art of cuisine) memerlukan kemampuan teknis yang kaya estetika dan menyiratkan keartistikan (Montanari, 2006: 31). Dalam seni memasak, orang  mempersiapkan makanan dengan teknik manual yang kompleks, yang membutuhkan waktu serta keahlian yang lebih banyak agar menghasilkan makanan yang sempurna (Montanari, 2006; 32-33)

Menurut kutipan yang ditulis oleh Prof. Dr. Mudjarin Thorir, “Kebudayaan pada dasarnya adalah keseluruhan pengetahuan yang dimiliki secara bersama oleh warga suatu masyarakat. Pengetahuan yang telah diakui sebagai kebenaran sehingga secara fungsional efektif dapat digunakan  sebagai pedoman secara ber-sama.

Budaya akan muncul pada saat dibagi dengan individu lain di dalam suatu komunitas atau kelompok, dan dijalankan oleh kelompok tersebut secara bersama-sama dan terus menerus.

Relevansi terus menerus dan secara konsisten dalam penerapan di lapangan sebagai contoh penggunaan resep-resep makanan maupun kwee-kwee yang tetap dipertahankan originalitasnya baik dari sisi komposisi penggunaan bahan maupun tuntutan persyaratan kualitas.